Keringat
mengucur, matahari tersenyum dengan bangga memancarkan panasnya hingga menyulut
emosi. Udara hangat dan kesibukkan menceritakan pengalaman sendiri-sendiri membuat
mata menjadi sayup-sayup. Bus butut yang popular di Era 50-an yang kami
tumpangi melaju dengan sigap, ditengah gedung yang tingginya sudah melebihi
tiang listrik pedesaan dan sudah tak asing dipandang, dan saat itu juga aku
tertidur dalam rengekan besi penyusun bus buntut itu. Bising, itulah lagu perjalanan
yang akan aku tempuh kali ini.
Aku
terperanjat bangun dan rasa ngantuk yang menempel di mataku hilang, ketika Ibu
setengah baya sengaja membangunkan ku sekedar basa-basi dan sudah sering
dilakukan orang pedesaan, yaitu gaya hidup senyum, salam, sapa dan santun.
Karena aku juga berasal dari pedesaan terpaksa aku menaggapi.
“Turun
mana Neng?”
“Wah
ini Buk, turun Surabaya Kota. Ibu mau turun mana?”
“Ibuk
mau turun kalau busnya sudah berhenti Neng,”
Aku balas tersenyum malu.
“Iya
buk, saya juga turun kalau busnya sudah berhenti, tapi yang saya maksud ibu
tujuanya mana?”
“Iya, tadi Ibuk ditelpon anak Ibuk, katanya turun
saja kalau busnya sudah berhenti , begitu!”
Sejenak
aku berfikir, ini anaknya yang bodoh apa
emang ibunya yang kurang pengalaman. Tak kutanggapi jawaban ibu itu dengan
serius karena pasti nanti pembicaraan kami akan nglantur kemana-mana. Aku
mengenakkan posisi dudukku sembari merogoh handpone jadulku, jam sudah
menunjukkan pukul 12.00 dan perjalanan ku masih jauh. Disaat aku mulai nyaman
dengan pemandangan yang aku amati dari jendela bus, ibu di sebelahku
ngomel-ngomel tak jelas, dan terdengar memaki-maki seseorang dengan teleponnya,
seketika aku menoleh dengan penasaran dan terpaksa tetap mendengarkan celoteh
ibu itu.
“Dasar
anak kurang ajar, gak tau terimakasih sama orang tua!” Kalimat itu berhenti
mendadak dan tak lues didengar
“Ini sampai mana Neng?”
Dengan
terkejut aku menoleh, dan segera memastikan bahwa pertanyaan itu memang
dilontarkan kepadaku.
“Ini masih sampai Sidoarjo ibu.”
Dengan sangat halus aku
mencoba memberlakukan ibu itu, karena aku tau emosi ibu ini masih mendarah
daging oleh seseorang yang berbincang lewat telepon tadi. Ibu tadi tak langsung
menanggapi ku dengan jelas, tapi ia malah mengeluarkan dompet dari tas jadulnya
dan mencabut uang seratus ribuan kurang lebih sebanyak lima lembar dan
menyodorkannya kepadaku, aku sangat kaget dan sama sekali tak tau maksud ibu
itu, sejenak aku hanya berfikir kalau ibu ini sedikit kurang waras dan hanya
pamer saja kepada mahaiswa kere sepertiku.
Ibu
itu menyodorkan handpone dan uangnya kepadaku, “Antarkan aku ke alamat ini,
nanti kamu ibu kasih uang limaratus ribu, kan lumayan apalagi kamu kan masih
sekolah?”
Hah?
Pikiranku melayang dan tak kusangka mataku jelalatan memandang sekitar dan
mencoba mencari kamera tersembunyi, yang mungkin terpasang disudut yang tak ku
ketahui seperti program televisi yang kerap ditayangkan, tapi sepuluh detik
telah berlalu aku tak juga menemukan tanda-tanda kalau ini memang sebuah
program televisi, dan ini kejadian real yang dihadapanku. “Maaf, tapi maksud
ibu apa ya?” sebenarnya aku bukan tak mengerti dengan permintaan ibu tadi, tapi
aku hanya memastikan pada diriku sendiri. “Ya ampun Neng, ini uang limaratus
ribu buat kamu, tapi antarkan ibu ke alamat ini, karena kalau tidak ibu akan
mati karena nyasar!”. Aku melonggo, fikiranku memantul kemana-mana mulai dari
yang positif hingga minus 1.000.000.000, dengan sedikit ragu aku memeriksa
handpone ibu yang disodorkan kepadaku, dengan tujuan memeriksa alamat yang
dimaksud. Tak lama aku kembalikan handpone itu dan segera ku tulis ulang lamat
itu diselembar kertas.
“Begini
ibu, ini alamatnya tidak jauh dari kampus saya, nanti ibu saya antarkan ke
alamat tadi!”
“Wah
makasih ya Neng….baik banget, tenang saja nanti kalau sudah sampai sana, Ibu
kenalin sama anaknya Ibu yang masih Jaka, dia ganteng banget. Sekarang sudah
bekerja menjadi polusi ya kalau masalah umur masih 25an lah, masih Jaka kok
tenang Neng!”
“Hah
polusi Buk? Polisi mungkin?” rasa sepaneng yang dari tadi berkerumul diotakku
sedikit mencair seperti mentega yang dipanaskan, lelucon polos yang yang tak
sengaja di ucapkan berulang-ulang kali oleh ibu itu sedikit membuatku menjadi
bersahabat. Aku juga sedikit terbuka, aku mulai bercerita tentang studiku yang
sudah aku tempuh selama empat semester itu.
“Oh….maaf
bu, dari tadi saya dan Ibu ngobrol tapi belum tau nama satu sama lain. Nama ibu
siapa?” Aku sedikit malu. Meskipun aku dibesarkan dipedesaan dan asli orang
Jawa, tapi berbahasa Jawaku sudah luntur, dan aku tak tau caranya menanyakan sesuatu
dengan gaya Jawa.
“Iya,
ya ibu juga gak sadar, panggil saja Bu Na. Kalau Neng sendiri namanya siapa?”
“Perkenalkan
Bu nama saya Aisa, tapi biasanya orang-orang manggilnya Ais”
Matahari
menepi, mesin bus butut itu juga sudah panas seperti panji penggorengan kentucy
diperempatan kecamatan kotaku. Bau keringat dan wajah lesu juga sudah familiar,
bus itu berhenti di terminal terakhir. Surabaya Kota sekarang aku berdiri
dengan tas ransel di punggungku dan sebelahku Bu Na yang repot membetulkan tali
kardus yang sudah berantakan.
“Sini Bu, biar Ais saja
yang betulkan!” Aku membantu Bu Na unutk membetulkan kardus bawaanya.
“Nanti
kita naik angkot saja ya Bu? Karena kalau naik taksi dari sini ke alamat Bu Na
tadi terlalu mahal.”
“Wah
iya, kalau kamu mau tau, sebenarnya dulu Bu Na sudah pernah naik taksi tapi Bu
Na diturunkan di tengah perjalanan.”
“Loh
memangnya kenapa Bu?”
“Iya,
dasar ya orang kota, masak penumpangnya mabok malah gak di bantu malah
ditinggalin sendiri, padahal saat itu Bu Na sudah menawari sopir itu untuk Bu
Na bersihin nanti mobilnya, eh malah marah-marah”
Aku
tersenyum geli melihat gaya bicara Bu Na yang sedikit medok ala bahasa Indonesia.
Angkot berplat nomor kuning menghampiri kami, aku segera membantu Bu Na membawa
barang-barangnya yang lumayan rempong itu, dan aku persilahkan Bu Na untuk
masuk duluan dan aku menyusul duduk berdampingan. Aku sengaja tidak membumbui
perjalanan angkot dengan macam-macam pembicaraan, karena aku mengantuk tingkat
mahir. Aku melamun dan mengingat perkataan Bu Na di bus tadi, bahwa Bu Na akan
memperkenalkan aku dengan anaknya yang sudah mapan menjadi Polisi tampan lagi.
Sungguh sebenarnya aku lebih tertarik dengan tawaran itu dari pada uang
limaratus ribu yang diberikan Bu Na kepadaku, memang selama kurang lebih aku
menghabiskan waktu dan umurku dibangku pendidikan tapi aku belum sama-sekali
merasakan berpacaran. Aku dilahirkan sebagai wanita sejati yang mengharapkan
kehadiran pria sejati juga yang selalu disampingku. Aku iri dengan teman-temanku
yang setiap hari hilir mudik dengan cerita menggemaskan dengan pasanganya
masing-masing, tapi aku selalu saja penjadi pendengar sejati yang tak
henti-hentinya ikut tertawa dan menagis, tergantung suasana cerita yang
dibawakan.
“Gang
16?” Pak sopir memberi tanda kepada penumpang yang turun di gang 16 untuk
bersiap-siap . Rem diinjak dan mobil angkot yang penuh sesak itu berhenti, aku
segera turun dan merogoh saku celana ku mengambil uang lima belas ribu, dan aku
berikan kepada pak sopir.
“Makasih Neng!”.
“Aduh
Ais, Ibu sangat haus sekali dan lapar, itu ada warung. Bagaimana kalau kita
istirahat disana sebentar!” Aku mengangguk cepat dan memboyong barang bawaan
ibu ke warung kecil tepi jalan itu.
“Kamu
pesan apa Ais?” Bu Na menawarkan pesanan ke aku, aku sebenarnya lapar tapi aku
malu untuk menjawab pertanyaan menu dari Bu Na.
“Wah
kalau saya sudah kenyang Bu, saya pesan minum saja. Es The saja bu.” Aku hanya
memesan satu gelas Teh dengan Es berenang didalamnya, aku teguk kesegaran itu dengan
sedotan yang bersandar dipermukaan gelas. Sambil menunggu Bu Na melepas lelah
aku bermainan handpone dan sedikit iseng mengirim pesan singkat kepada teman
satu kost ku.
To : Riza
Message : Sebentar lagi aku akan mendapatkan
durian jatuh, yang montok banget. Polisi muda sudah didepanku, dan kini aku
sudah mendapatkan Induknya. J
(senyum jahat)
Aku berbangga diri
mengirimkan pesan singkat itu kepada Riza, teman satu kost ku punya banyak
cowok, yang mondar mandir di hatinya. Dia yang selalu menceritakan manisnya
cinta. Aku sengaja pamer, agar aku dapat membuktikan kalau sebenarnya aku itu
juga laku. Tak berapa lama handpone ku bergetar, segera aku rogoh handpone ku
dari saku celanaku.
Dear : Ais
Message : Iya,iya ibu polisi. Aku tunggu
traktirannya kalau emang durian jatuh yang montok itu ada di depanmu. Jangan
sia-siakan. Tapi kalau emang nanti isinya gak memuskan jangan salahkan
perasaanmu karena malu sudah pamer kepadaku!>>>>>>>>>>>>
Aku manyum, sambil
membaca pesan singkat dari Riza. Saking sibuknya aku menaggapi pesan singkat
dari Riza, aku tak sadar kalau Bu Na sudah berdiri di pintu, dan bersiap-siap
untuk melanjutkan perjalanaan. Aku kaget dan aku segera merogoh uang seribu
rupiah unutk menebus segelas teh yang suda tinggal gelas dan gelondongan es
didalamnya.
“Sudah dibayar Neng!”
Ibu penjual memberitahuku, dan aku tersenyum malu sambil memandang Bu Na yang
sedang menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahku. Aku segera mengembil alih
komando perjalanan, tak lupa juga 2 buah kardus di tangan kiri dan kananku.
Matahari tak lelahnya
membuat keringat semakin mengucur, aroma khas dari pekerja bangunan menempel
ditubuhku. Satu demi satu rumah aku pelototi nomornya, tapi tetap saja aku tak
menemui nomor 134 atas nama HARIANTO. “Ya ampuuuuuuuun mana sih rumahnya? Dari
tadi mondar mandir gak ketemu!” Aku bergumam dalam hati.
“Atau mungkin alamatnya
salah Bu?” Aku bertanya kepada Bu Na, yang dari tadi hanya mengikutiku di
belakang dan tak membantu sama sekali.
“Aku ndak tau Ais, coba
kamu lihat di handpone ibu sekali lagi!” Bu Na menyodorkan handpone nya
kepadaku, dan segera aku mencari tepat teduh dan ku coba mengaktifkan handpone
dalam kondisi sleep tersebut. Aku coba-coba tapi tak ada tanda kehidupan pada
handpone tersebut
“Apa handpone ini mati ya?” aku bertanya pada
diriku sendiri. Aku mencoba melakukan pembenahan sedikit tapi hasilnya nihil
alias tanpa hasil, segera aku mendiagnosa bahwa handpone itu benar-benar mati
kehabisan daya.
“Wah ini handpone Bu Na
sudah mati Bu, daya nya habis!”
“Gimana dong ini Ais,
hari sudah semakin sore. Bu Na sudah capek mau tidur rasanya!”
Kami mencoba berfikir
mencari solusi yang tepat, dan akhirnya aku memutuskan agar Bu Na menginap di
kost ku dulu besok aku akan mencari alamat anak Bu Na yang dimaksud, dengan
tenaga yang lebih baik dari pada sekarang. Kami naik angkot unutk menuju ke kost
ku yang jaraknya lumayan jauh. Setelah sampai di kost Bu Na langsung istirahat
dan memakai kamar ku untuk bermalamnya, dan aku nebeng di kamar Riza. Keesokan harinya aku mencari alamat rumah itu
dengan persis yang ada di handpone Bu Na. Aku memutuskan agar Bu Na tidak ikutdan
tetap menunggu di kost karena mengingat kemarin Bu Na tak membantu sama sekali
dan hanya akan mempersulit pencarian.
***************
Satu minggu telah berlalu, tapi alamat yang
dimaksud belum juga ketemu, Bu Na tak mau pulang ke kampung halamanya karena kabar
diberita televise kampungnya terkena banjir dan rawan terhadap penyakit. Bu Na
tetap tinggal di kostku. Uang lima ratus ribu yang di berikan Bu Na untuk membantu
mencarikan alamat Bu Na sudah aku terima dan sudah habis pula untuk makan,
minum, transport dan lain-lain kebutuhan Bu Na sendiri selama satu minggu.
Suatu hari aku, Bu Na
dan Riza berjalan-jalan sekedar refresing, kami brejalan-jalan di taman kota. Udaranya
yang sejuk dan pepohonan yang masih berdiri kokoh menambah keasrian taman ini.
Tidak hanya kami yang melakukan aktifitas tersebut, dari anak muda hingga orang
tua ada disana. Kami duduk beristirahat di bawah pohon pinus yang sedikit
rindang dengan dendangan burung yang masih terlindungi, kami bercerita banyak
tentang diri kami sendiri mulai pendidikan hingga selera tempat tinggal kami,
ditengah keasikan kami bercerita tiba-tiba ada seseorang lelaki kurang lebih
berumur 30 tahun keatas menyapa kami.
“Selamat pagi!” Kami
semua melonggo, tapi tidak dengan Bu Na. Bu Na langsung menjerit dan memeluk
lelaki itu. Bukan hanya itu yang membuat kami kaget tapi Bu Na memperkenalkan
laki-laki itu kepada kami bahwa ia adalah putranya yang masih jaka yang mapan
dan sekarang bekerja menjadi polisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar