Jumat, 14 Juni 2013

SEDEKAH NGEBET????

            Keringat mengucur, matahari tersenyum dengan bangga memancarkan panasnya hingga menyulut emosi. Udara hangat dan kesibukkan menceritakan pengalaman sendiri-sendiri membuat mata menjadi sayup-sayup. Bus butut yang popular di Era 50-an yang kami tumpangi melaju dengan sigap, ditengah gedung yang tingginya sudah melebihi tiang listrik pedesaan dan sudah tak asing dipandang, dan saat itu juga aku tertidur dalam rengekan besi penyusun bus buntut itu. Bising, itulah lagu perjalanan yang akan aku tempuh kali ini.
            Aku terperanjat bangun dan rasa ngantuk yang menempel di mataku hilang, ketika Ibu setengah baya sengaja membangunkan ku sekedar basa-basi dan sudah sering dilakukan orang pedesaan, yaitu gaya hidup senyum, salam, sapa dan santun. Karena aku juga berasal dari pedesaan terpaksa aku menaggapi.
            “Turun mana Neng?”
            “Wah ini Buk, turun Surabaya Kota. Ibu mau turun mana?”
            “Ibuk mau turun kalau busnya sudah berhenti  Neng,” Aku balas tersenyum malu.
            “Iya buk, saya juga turun kalau busnya sudah berhenti, tapi yang saya maksud ibu tujuanya mana?”

“Iya, tadi Ibuk ditelpon anak Ibuk, katanya turun saja kalau busnya sudah berhenti , begitu!”
            Sejenak  aku berfikir, ini anaknya yang bodoh apa emang ibunya yang kurang pengalaman. Tak kutanggapi jawaban ibu itu dengan serius karena pasti nanti pembicaraan kami akan nglantur kemana-mana. Aku mengenakkan posisi dudukku sembari merogoh handpone jadulku, jam sudah menunjukkan pukul 12.00 dan perjalanan ku masih jauh. Disaat aku mulai nyaman dengan pemandangan yang aku amati dari jendela bus, ibu di sebelahku ngomel-ngomel tak jelas, dan terdengar memaki-maki seseorang dengan teleponnya, seketika aku menoleh dengan penasaran dan terpaksa tetap mendengarkan celoteh ibu itu.
            “Dasar anak kurang ajar, gak tau terimakasih sama orang tua!” Kalimat itu berhenti mendadak dan tak lues didengar
“Ini sampai mana Neng?”
            Dengan terkejut aku menoleh, dan segera memastikan bahwa pertanyaan itu memang dilontarkan kepadaku.
 “Ini masih sampai Sidoarjo ibu.”
Dengan sangat halus aku mencoba memberlakukan ibu itu, karena aku tau emosi ibu ini masih mendarah daging oleh seseorang yang berbincang lewat telepon tadi. Ibu tadi tak langsung menanggapi ku dengan jelas, tapi ia malah mengeluarkan dompet dari tas jadulnya dan mencabut uang seratus ribuan kurang lebih sebanyak lima lembar dan menyodorkannya kepadaku, aku sangat kaget dan sama sekali tak tau maksud ibu itu, sejenak aku hanya berfikir kalau ibu ini sedikit kurang waras dan hanya pamer saja kepada mahaiswa kere sepertiku.
            Ibu itu menyodorkan handpone dan uangnya kepadaku, “Antarkan aku ke alamat ini, nanti kamu ibu kasih uang limaratus ribu, kan lumayan apalagi kamu kan masih sekolah?”
            Hah? Pikiranku melayang dan tak kusangka mataku jelalatan memandang sekitar dan mencoba mencari kamera tersembunyi, yang mungkin terpasang disudut yang tak ku ketahui seperti program televisi yang kerap ditayangkan, tapi sepuluh detik telah berlalu aku tak juga menemukan tanda-tanda kalau ini memang sebuah program televisi, dan ini kejadian real yang dihadapanku. “Maaf, tapi maksud ibu apa ya?” sebenarnya aku bukan tak mengerti dengan permintaan ibu tadi, tapi aku hanya memastikan pada diriku sendiri. “Ya ampun Neng, ini uang limaratus ribu buat kamu, tapi antarkan ibu ke alamat ini, karena kalau tidak ibu akan mati karena nyasar!”. Aku melonggo, fikiranku memantul kemana-mana mulai dari yang positif hingga minus 1.000.000.000, dengan sedikit ragu aku memeriksa handpone ibu yang disodorkan kepadaku, dengan tujuan memeriksa alamat yang dimaksud. Tak lama aku kembalikan handpone itu dan segera ku tulis ulang lamat itu diselembar kertas.
            “Begini ibu, ini alamatnya tidak jauh dari kampus saya, nanti ibu saya antarkan ke alamat tadi!”
            “Wah makasih ya Neng….baik banget, tenang saja nanti kalau sudah sampai sana, Ibu kenalin sama anaknya Ibu yang masih Jaka, dia ganteng banget. Sekarang sudah bekerja menjadi polusi ya kalau masalah umur masih 25an lah, masih Jaka kok tenang Neng!”
            “Hah polusi Buk? Polisi mungkin?” rasa sepaneng yang dari tadi berkerumul diotakku sedikit mencair seperti mentega yang dipanaskan, lelucon polos yang yang tak sengaja di ucapkan berulang-ulang kali oleh ibu itu sedikit membuatku menjadi bersahabat. Aku juga sedikit terbuka, aku mulai bercerita tentang studiku yang sudah aku tempuh selama empat semester itu.
            “Oh….maaf bu, dari tadi saya dan Ibu ngobrol tapi belum tau nama satu sama lain. Nama ibu siapa?” Aku sedikit malu. Meskipun aku dibesarkan dipedesaan dan asli orang Jawa, tapi berbahasa Jawaku sudah luntur, dan aku tak tau caranya menanyakan sesuatu dengan gaya Jawa.
            “Iya, ya ibu juga gak sadar, panggil saja Bu Na. Kalau Neng sendiri namanya siapa?”
            “Perkenalkan Bu nama saya Aisa, tapi biasanya orang-orang manggilnya Ais”
            Matahari menepi, mesin bus butut itu juga sudah panas seperti panji penggorengan kentucy diperempatan kecamatan kotaku. Bau keringat dan wajah lesu juga sudah familiar, bus itu berhenti di terminal terakhir. Surabaya Kota sekarang aku berdiri dengan tas ransel di punggungku dan sebelahku Bu Na yang repot membetulkan tali kardus yang sudah berantakan.
“Sini Bu, biar Ais saja yang betulkan!” Aku membantu Bu Na unutk membetulkan kardus bawaanya.
            “Nanti kita naik angkot saja ya Bu? Karena kalau naik taksi dari sini ke alamat Bu Na tadi terlalu mahal.”
            “Wah iya, kalau kamu mau tau, sebenarnya dulu Bu Na sudah pernah naik taksi tapi Bu Na diturunkan di tengah perjalanan.”
            “Loh memangnya kenapa Bu?”
            “Iya, dasar ya orang kota, masak penumpangnya mabok malah gak di bantu malah ditinggalin sendiri, padahal saat itu Bu Na sudah menawari sopir itu untuk Bu Na bersihin nanti mobilnya, eh malah marah-marah”
            Aku tersenyum geli melihat gaya bicara Bu Na yang sedikit medok ala bahasa Indonesia. Angkot berplat nomor kuning menghampiri kami, aku segera membantu Bu Na membawa barang-barangnya yang lumayan rempong itu, dan aku persilahkan Bu Na untuk masuk duluan dan aku menyusul duduk berdampingan. Aku sengaja tidak membumbui perjalanan angkot dengan macam-macam pembicaraan, karena aku mengantuk tingkat mahir. Aku melamun dan mengingat perkataan Bu Na di bus tadi, bahwa Bu Na akan memperkenalkan aku dengan anaknya yang sudah mapan menjadi Polisi tampan lagi. Sungguh sebenarnya aku lebih tertarik dengan tawaran itu dari pada uang limaratus ribu yang diberikan Bu Na kepadaku, memang selama kurang lebih aku menghabiskan waktu dan umurku dibangku pendidikan tapi aku belum sama-sekali merasakan berpacaran. Aku dilahirkan sebagai wanita sejati yang mengharapkan kehadiran pria sejati juga yang selalu disampingku. Aku iri dengan teman-temanku yang setiap hari hilir mudik dengan cerita menggemaskan dengan pasanganya masing-masing, tapi aku selalu saja penjadi pendengar sejati yang tak henti-hentinya ikut tertawa dan menagis, tergantung suasana cerita yang dibawakan.
            “Gang 16?” Pak sopir memberi tanda kepada penumpang yang turun di gang 16 untuk bersiap-siap . Rem diinjak dan mobil angkot yang penuh sesak itu berhenti, aku segera turun dan merogoh saku celana ku mengambil uang lima belas ribu, dan aku berikan kepada pak sopir.
“Makasih Neng!”.
            “Aduh Ais, Ibu sangat haus sekali dan lapar, itu ada warung. Bagaimana kalau kita istirahat disana sebentar!” Aku mengangguk cepat dan memboyong barang bawaan ibu ke warung kecil tepi jalan itu.
            “Kamu pesan apa Ais?” Bu Na menawarkan pesanan ke aku, aku sebenarnya lapar tapi aku malu untuk menjawab pertanyaan menu dari Bu Na.
            “Wah kalau saya sudah kenyang Bu, saya pesan minum saja. Es The saja bu.” Aku hanya memesan satu gelas Teh dengan Es berenang didalamnya, aku teguk kesegaran itu dengan sedotan yang bersandar dipermukaan gelas. Sambil menunggu Bu Na melepas lelah aku bermainan handpone dan sedikit iseng mengirim pesan singkat kepada teman satu kost ku.
            To                    : Riza
Message          : Sebentar lagi aku akan mendapatkan durian jatuh, yang montok banget. Polisi muda sudah didepanku, dan kini aku sudah mendapatkan Induknya. J (senyum jahat)
Aku berbangga diri mengirimkan pesan singkat itu kepada Riza, teman satu kost ku punya banyak cowok, yang mondar mandir di hatinya. Dia yang selalu menceritakan manisnya cinta. Aku sengaja pamer, agar aku dapat membuktikan kalau sebenarnya aku itu juga laku. Tak berapa lama handpone ku bergetar, segera aku rogoh handpone ku dari saku celanaku.
Dear                 : Ais
Message          : Iya,iya ibu polisi. Aku tunggu traktirannya kalau emang durian jatuh yang montok itu ada di depanmu. Jangan sia-siakan. Tapi kalau emang nanti isinya gak memuskan jangan salahkan perasaanmu karena malu sudah pamer kepadaku!>>>>>>>>>>>>
Aku manyum, sambil membaca pesan singkat dari Riza. Saking sibuknya aku menaggapi pesan singkat dari Riza, aku tak sadar kalau Bu Na sudah berdiri di pintu, dan bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanaan. Aku kaget dan aku segera merogoh uang seribu rupiah unutk menebus segelas teh yang suda tinggal gelas dan gelondongan es didalamnya.
“Sudah dibayar Neng!” Ibu penjual memberitahuku, dan aku tersenyum malu sambil memandang Bu Na yang sedang menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahku. Aku segera mengembil alih komando perjalanan, tak lupa juga 2 buah kardus di tangan kiri dan kananku.
Matahari tak lelahnya membuat keringat semakin mengucur, aroma khas dari pekerja bangunan menempel ditubuhku. Satu demi satu rumah aku pelototi nomornya, tapi tetap saja aku tak menemui nomor 134 atas nama HARIANTO. “Ya ampuuuuuuuun mana sih rumahnya? Dari tadi mondar mandir gak ketemu!” Aku bergumam dalam hati.
“Atau mungkin alamatnya salah Bu?” Aku bertanya kepada Bu Na, yang dari tadi hanya mengikutiku di belakang dan tak membantu sama sekali.
“Aku ndak tau Ais, coba kamu lihat di handpone ibu sekali lagi!” Bu Na menyodorkan handpone nya kepadaku, dan segera aku mencari tepat teduh dan ku coba mengaktifkan handpone dalam kondisi sleep tersebut. Aku coba-coba tapi tak ada tanda kehidupan pada handpone tersebut
 “Apa handpone ini mati ya?” aku bertanya pada diriku sendiri. Aku mencoba melakukan pembenahan sedikit tapi hasilnya nihil alias tanpa hasil, segera aku mendiagnosa bahwa handpone itu benar-benar mati kehabisan daya.
“Wah ini handpone Bu Na sudah mati Bu, daya nya habis!”
“Gimana dong ini Ais, hari sudah semakin sore. Bu Na sudah capek mau tidur rasanya!”
Kami mencoba berfikir mencari solusi yang tepat, dan akhirnya aku memutuskan agar Bu Na menginap di kost ku dulu besok aku akan mencari alamat anak Bu Na yang dimaksud, dengan tenaga yang lebih baik dari pada sekarang. Kami naik angkot unutk menuju ke kost ku yang jaraknya lumayan jauh. Setelah sampai di kost Bu Na langsung istirahat dan memakai kamar ku untuk bermalamnya, dan aku nebeng di kamar Riza. Keesokan harinya aku mencari alamat rumah itu dengan persis yang ada di handpone Bu Na. Aku memutuskan agar Bu Na tidak ikutdan tetap menunggu di kost karena mengingat kemarin Bu Na tak membantu sama sekali dan hanya akan mempersulit pencarian.
***************
Satu  minggu telah berlalu, tapi alamat yang dimaksud belum juga ketemu, Bu Na tak mau pulang ke kampung halamanya karena kabar diberita televise kampungnya terkena banjir dan rawan terhadap penyakit. Bu Na tetap tinggal di kostku. Uang lima ratus ribu yang di berikan Bu Na untuk membantu mencarikan alamat Bu Na sudah aku terima dan sudah habis pula untuk makan, minum, transport dan lain-lain kebutuhan Bu Na sendiri selama satu minggu.
Suatu hari aku, Bu Na dan Riza berjalan-jalan sekedar refresing, kami brejalan-jalan di taman kota. Udaranya yang sejuk dan pepohonan yang masih berdiri kokoh menambah keasrian taman ini. Tidak hanya kami yang melakukan aktifitas tersebut, dari anak muda hingga orang tua ada disana. Kami duduk beristirahat di bawah pohon pinus yang sedikit rindang dengan dendangan burung yang masih terlindungi, kami bercerita banyak tentang diri kami sendiri mulai pendidikan hingga selera tempat tinggal kami, ditengah keasikan kami bercerita tiba-tiba ada seseorang lelaki kurang lebih berumur 30 tahun keatas menyapa kami.
“Selamat pagi!” Kami semua melonggo, tapi tidak dengan Bu Na. Bu Na langsung menjerit dan memeluk lelaki itu. Bukan hanya itu yang membuat kami kaget tapi Bu Na memperkenalkan laki-laki itu kepada kami bahwa ia adalah putranya yang masih jaka yang mapan dan sekarang bekerja menjadi polisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar