Keringat
mengucur, matahari tersenyum dengan bangga memancarkan panasnya hingga menyulut
emosi. Udara hangat dan kesibukkan menceritakan pengalaman sendiri-sendiri membuat
mata menjadi sayup-sayup. Bus butut yang popular di Era 50-an yang kami
tumpangi melaju dengan sigap, ditengah gedung yang tingginya sudah melebihi
tiang listrik pedesaan dan sudah tak asing dipandang, dan saat itu juga aku
tertidur dalam rengekan besi penyusun bus buntut itu. Bising, itulah lagu perjalanan
yang akan aku tempuh kali ini.
Aku
terperanjat bangun dan rasa ngantuk yang menempel di mataku hilang, ketika Ibu
setengah baya sengaja membangunkan ku sekedar basa-basi dan sudah sering
dilakukan orang pedesaan, yaitu gaya hidup senyum, salam, sapa dan santun.
Karena aku juga berasal dari pedesaan terpaksa aku menaggapi.
“Turun
mana Neng?”
“Wah
ini Buk, turun Surabaya Kota. Ibu mau turun mana?”
“Ibuk
mau turun kalau busnya sudah berhenti Neng,”
Aku balas tersenyum malu.
“Iya
buk, saya juga turun kalau busnya sudah berhenti, tapi yang saya maksud ibu
tujuanya mana?”